#pendidikandasar
#Australianeducation
#pentingnyapenghargaan
—
Salaam,
Sahabat semua,
Berikut akan saya lanjutkan janji saya menulis pengalaman pribadi saya saat berinteraksi dengan sistem pendidikan dasar di Australia, persisnya di Victoria, terutama ketika saya membersamai anak saya yang sedang sekolah di Clayton North Primary School (CNPS). Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya (maaf, agak lama ya munculnya edisi kedua ini ;-)). Bagi yang baru bergabung, silahkan juga lihat postingan saya sebelumnya dengan hashtag seperti terlihat di atas. Saya memutuskan juga memposting tulisan ini blog saya supaya bisa dibaca dan bermanfaat untuk lebih banyak orang, mengingat postingan di facebook sepertinya tidak bisa ditrack melalui mesin pencari google.
Pada postingan pertama, saya telah membahas sistem pendidikan Australia secara umum, dan kali ini saya akan langsung ke lapangan, bercerita tentang beberapa contoh ‘best practice’ yang barangkali bisa dijadikan inspirasi bagi kita dalam mengelola pendidikan di tanah air. Penggunaan tanda kutip pada kata best practice di atas adalah refleksi dari kesadaran saya bahwa istilah ‘baik’ atau ‘buruk’ itu sangat context specific dan culturally situated – apa yang dianggap baik di Australia, belum tentu baik bagi kita di tanah air, dan demikian juga sebaliknya. Namun demikian, saya akan sampaikan apa yang saya lihat apa adanya, dan saya persilahkan teman-teman pembaca yang menyimpulkan beberapa bagian cerita berikut cocok atau tidak untuk diadopsi di lingkungan sekolah kita masing-masing. Atau malah sebaliknya, teman-teman semua justru telah melakukan sesuatu yang ‘lebih baik’ dari apa yang kita temukan di sini.
Persisnya kali saya akan bercerita tentang salah satu kegiatan mingguan yang rutin dilakukan sekolah pada setiap Senin sore, kecuali di akhir term yang kadang diadakan pada hari Jumat, yaitu kegiatan assembly (secara literal bisa diterjemahkan dengan ‘apel bersama’). Dalam konteks sekolah kita di tanah air, asembly adalah sejenis upacara pagi Seninnya kita. Namun, tidak ada acara pengibaran bendera sebagaimana halnya kebiasaan kita di Indonesia. DI CNPS, assembly biasanya diadakan di auditorium atau ruang serba guna sekolah, diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Australia, kemudian sekolah menyampaikan beberapa informasi penting terkait kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Yang paling menarik bagi saya pada kegiatan assembly ini adalah tentang fakta bahwa assembly digunakan pihak sekolah sebagai momen untuk mengumumkan capaian atau prestasi yang telah dilakukan siswa dalam berbagai hal, dengan salah satunya mengumumkan siapa ‘student of the week’ dan atau ‘student of the month’ dari kalangan siswa pada minggu atau bulan berjalan. Ini adalah semacam pengumuman ‘para juara mingguan’ atau ‘juara bulanan’ dari masing-masing kelas di sekolah.
Namun, jangan dibayangkan bahwa para juara ini adalah didominasi oleh mereka yang memperoleh nilai atau capaian akademik tertinggi, mendapat nilai 10 pada ulangan Matematika misalnya, para juara yang diumumkan itu adalah juga mereka yang memperoleh capaian pada bidang yang barangkali untuk sebagian kalangan dianggap ‘sederhana’. Pada contoh foto di bawah, anak saya Alya dan Wafa masing-masing pernah memperoleh sertifikat student of the week di sekolah mereka. Untuk kasus Wafa, misalnya, dia memperoleh penghargaan itu atas usaha atau kerja kerasnya dalam menguasai beberapa ratus kata baru dalam pelajaran bahasa Inggris dank arena telah berbagi dengan teman di kelas barunya. Sementara Alya pernah memeperoleh penghargaan serupa karena dia telah berani berbicara/presentasi di depan kelas (sayang saya belum nemu foto sertifikatnya ^^). Pada kesempatan lain, saya perhatikan ada anak yang dihargai karena telah menjadi pemimpin yang baik di dalam kelasnya, atau karena telah menjadi teman yang suka menolong temannya yang lain.
Intinya adalah bahwa penghargaan yang diberikan pihak sekolah adalah penilaian tehadap perkembangan anak secara holistik, baik terkait capaian akademik mereka, maupun juga capaian non akademik, seperti pertumbuhan terkait self-confidence, leadership skills, dan interpersonal relationship skills, dan beragam soft skills lainnya. Pendeknya, sekolah secara sadar dan terencana mengembangkan dan atau memupuk tiga taksonomi pendidikan – ranah kognitif, afektif, dan psikomotor itu – secara seimbang.
Kasadaran pihak sekolah untuk memperhatikan perkembangan anak pada tiga domain ini bisa terlihat dari filosofi yang mendasari pendidikan dasar mereka, sebagaimana tertulis dengan jelas pada buku welcome pack mereka, we believe that educational development is best fostered in an atmosphere where all students are respected, valued, and encouraged – kami meyakini bahwa pendidikan akan berkembang sangat baik dalam susasana dimana semua siswa merasa dihormati, dihargai, dan disemangati.
Dalam konteks ‘para juara’ yang dimumkan pada assembly itu, setahu saya pada akhirnya mayoritas anak barangkali akan mendapatkan giliran maju ke depan, memperoleh sertifikat, ketika namanya di sebut sebagai sudent of the week – dengan poin dan penekanan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap anak bisa menjadi juara dengan keunikan mereka masing-masing.
Secara akademik, ada cukup banyak teori dan penelitian terutama di bidang psikologi pendidikan yang telah mendiskusikan tentang pentingnya penghargaan atau appresiasi yang cukup atas setiap capaian anak didik dalam proses pembelajaran. Apresiasi yang tepat akan berpengaruh positif pada munculnya motivasi anak didik, dan pada akhirnya akan berdampak pada capaian atau prestasi mereka di sekolah.
Setiap penguatan positif yang diberikan guru, sekecil apapun akan sangat berbekas pada perkembangan anak didik. Tepukan di punggung, anggukan dan senyum manis guru, jempol, salam yang hangat, tanda bintang di buku latihan, sampai yang berbentuk verbal seperti ‘very good’, weldone’, ‘good boy’, ‘much better’, dan sejenisnya akan menjadi ‘ramuan ajaib’ membantu siswa menggapi capaian terbaiknya selama proses pembelajaran.
Sepertinya kesadaran akan pentingnya penghargaan inilah yang menjadi filosofi di balik pengumuman para ‘juara mingguan’ itu. Appresiasi sekolah terhadap perkembangan anak dalam assembly itu juga mungkin dilandasi keasadaran tentang fakta bahawa setiap anak terlahir sebagai makhluk yang unik dengan beragam potensi mereka. Sementara sekolah dan orangtua bekerjasama dalam memupuk dengan mengembankan potensi mereka secara baik (InsyAllah, saya akan bahas tentang keterlibatan orang tua ini secara terpisah pada tulisan berikutnya)
Sebagai orangtua saya bisa merasakan efek luar bisa terhadap perkembangan anak saya di sekolah. Sekedar bercerita tentang anak saya pertama – Wafa. Sebelum bersekolah di CNPS, Wafa sering dikategorikan para gurunya sebagai anak yang pendiam dan pemalu. Walau saya biasanya menghindari penilaian seperti ini langsung kepada Wafa dengan tidak pernah mengatakan kepadanya bahwa dia adalah anak yang pemalu, namun saya cukup sering memperoleh laporan dari gurunya saat sekolah di Indonesia tentang kecedrungan Wafa yang banyak diam di sekolah.
Setelah beberapa bulan di CNPS, perkembangan Wafa terkait ini cukup pesat. Pada buku lapornya pada term yang lalu, salah satu catatan khusus yang disampaikan oleh guru kelasnya adalah bahwa gurunya sangat happy ketika pertama kali menyaksikan Wafa mengangkat tangan jika ada kesempatan bertanya atau menyampaikan pendapat di kelas, sebagaimana siswanya yang lain. Ya, keberanian mengangkat tangan di kelas untuk berekspresi adalah sesuatu yang penting bagi gurunya untuk diapresiasi, karena angkat tangan itu bisa jadi symbol bahwa Wafa mulai menikmati proses belajarnya di sekolah. Bahwa dia mulai menemukan rasa percaya dirinya. Saya yakin, dorongan yang terus menerus dari gurunya adalah diantara faktor yang membuat Wafa mengalahkan rasa takutnya untuk berekspresi.
Well, ladies and gentlemen 🙂 Sepertinya dah agak kepanjangan ya. Baiklah sebelum saya tutup, saya ingin sedikit merefleksi cerita di atas dengan apa yang biasa kita lakukan di tanah air. Saya yakin bahwa konsep tentang tiga taksonomi pendidikan itu bukanlah hal yang baru bagi kita. Sudah lama kita mengenal istilah ini dalam kurikulum kita. Masalahnya adalah, secara umum kita masih belum benar-benar bisa membuat proses belajar di sekolah kita yang secara sadar dan terencana bisa mengembangkan ketiga aspek ini. Selama ini, kita cendrung masih focus pada ranah kognitif, dan cendrung mengabaikan perkembangan aspek afektif dan psikomotor itu.
Adalah sesuatu yang menggembirakan ketika kita membaca kurikulum terbaru kita – sejak KBK sampai kurikukulum berbasis karakter – bahwa kesadaran akan pentingnya pengembangan siswa secara holistik ini mulai ditekankan. Tinggal bagaimana kita para praktisi pendidikan bisa mencari cara kreatif di lapangan untuk bisa benar-benar melaksanakannya. Saya tahu bahwa di beberapa sekolah, misalnya juga sudah mulai memperhatikan ketiga aspek ini. Di beberapa TK dan SDIT di tanah air, mereka sudah lama memberikan penghargaan seperti yang sampaikan di atas, walau dengan frekwensi yang masih sedikit (hanya ketika menerima rapor). Beberapa sekolah saya dengar juga mulai menghilangkan sistem juara kelas, karena lebih banyak menilai aspek kognitif.
Namun, saya yakin semua proses itu tak mudah, karena pada saat yang sama kita masih berhadapan dengan beberapa bentuk ujian yang masih menggunakan ‘model lama’ (model Ujian Nasional misalnya), atau bentuk penilaian dan buku laporan capaian siswa yang lebih banyak berbentuk kuantitatif. Sementara penilaian berbasis kelas atau penilaian portfolio seperti yang juga sudah diperkenalkan itu masih saja cendrung hanya menjadi konsep hebat yang tertulis dalam kurikulum kita. Saya paham bahwa perubahan butuh proses, dan mari terus kita berproses menjadi lebih baik, salah satunya dengan berbagi seperti ini. Merdeka! ^^